Sabtu, 14 Mei 2016

MENELUSURI SENI BUDAYA TIONGHOA - GAMBANG KROMONG




foto:kratonpedia.com
Gambang kromong dikenal sebagai musik tradisional Betawi. Wilayah budaya Betawi bukan hanya meliputi wilayah administratif DKI Jakarta saja, namun tersebar sampai ke Tangerang di sebelah barat, Bogor bagian utara di sebelah selatan, dan Bekasi di sebelah timur. Gambang kromong sering ditanggap dalam suatu pesta perkawinan, untuk mengiringi para tamu yang hendak ngibing cokèk. Pertunjukan Lenong bukan Lenong kalau tidak diiringi Gambang Kromong. Singkat kata Gambang Kromong selalu ditampilkan dalam berbagai acara budaya Betawi dan sudah menjadi trade mark kota Jakarta. Di pihak lain, di beberapa wilayah kabupaten Tangerang, yang secara administratif termasuk ke dalam propinsi Banten, sendiri cukup banyak perkumpulan Gambang Kromong dan wayang cokèk, sehingga dapat dikatakan masyarakat Tangerang, terutama komunitas Peranakannya, tak terpisahkan dari Gambang Kromong dan wayang cokèk.

Menurut data yang dikutip oleh Ninuk Kleden-Probonegoro (2002), ada empat kecamatan di Kabupaten Tangerang yang terbanyak mempunyai grup Gambang Kromong dan wayang cokèk: Teluk Naga, Kosambi, Sepatan dan Legok. Sejak dahulu memang kota Batavia telah dihuni oleh penduduk dari berbagai belahan dunia. Tak heran apabila fakta ini tercermin dalam musiknya yang juga kosmopolitan. Di antara sekian banyak penduduk yang sudah sejak lama bermukim di kota ini tentu saja yang pantas disebut adalah etnik Tionghoa. Peranakan Orang Tionghoa sudah sejak lama bermukim di kota ini. Waktu orang Belanda untuk pertama kalinya menginjakkan kaki mereka di Jayakarta, sudah ada suatu pemukiman Tionghoa di sebelah timur muara Ciliwung. 

Orang Tionghoa di Jakarta khususnya dan di Jawa umumnya berasal dari bagian selatan propinsi Hokkian (Fujian), yakni wilayah sekitar Ciang-ciu (Zhangzhou), E-mui (Xiamen), dan Coan-ciu (Quanzhou) di Cina selatan. Waktu itu, sebab yang datang hanya kaum laki-lakinya saja dan hampir tidak ada perempuan Cina yang bermigrasi, laki-laki Tionghoa Totok (sin-kheh) ini lalu menikahi perempuan setempat (nyai) dan membentuk keluarga. Hasil perkawinan campur inilah yang kemudian membentuk orang Tionghoa Peranakan (baba-nona/nyonya).

Kaum Peranakan di Jawa umumnya tidak dapat berbahasa Tionghoa lagi dan berbahasa Melayu dan/atau dialek setempat: Sunda atau Jawa. Budaya Peranakan merupakan akulturasi antara budaya Tionghoa dari pihak laki-laki dengan budaya lokal dari pihak perempuan. Kaum perempuannya dulu berkebaya nyonya dengan bawahan sarung batik Cirebon, Pekalongan, Lasem dan lain-lain. Di masa lalu mereka juga mengunyah sirih, menjalani upacara “potong gigi”, jongkok-menyembah untuk memberi hormat dan kebiasaan perempuan lokal lainnya. Sastra yang mereka lahirkan kemudian disebut Sastra Melayu-Tionghoa. 

Cina Benteng Di lain pihak Gambang Kromong dan wayang cokèk tak terpisahkan dari kehidupan kesenian masyarakat Cina Benteng, yakni masyarakat Tionghoa Peranakan yang sejak beberapa generasi bermukim di wilayah Kabupaten Tangerang. Sejak berabad lalu orang Tionghoa telah bermukim di tempat ini. Mereka datang melalui beberapa entri: Banten di barat, Mauk dan Teluk Naga di utara, serta Batavia di timur. Seiring dengan dikembangkannya pertanian oleh Belanda di luar Tembok Batavia (Ommelanden), maka banyak orang Tionghoa mengusahakan pertanian, perkebunan tebu dan pembuatan arak di wilayah ini.

Sepanjang sejarah Batavia-Tangerang tercatat, para tuan tanah yang tinggal di Batavia juga banyak yang mempunyai tanah di wilayah ini. Di antaranya, keluarga Souw dari Patekoan, Batavia. Pemukiman Tionghoa berkembang pesat setelah benteng Tangerang (lokasinya di jalan Benteng Jaya, belakang Plaza Tangerang) dibangun sekitar 1730 oleh Belanda sebagai pertahanan terhadap serangan Banten yang ingin merebut kembali Batavia. Dari pertahanan inilah lahir nama Benteng sebagai nama lain kota Tangerang. Orang Tionghoa Peranakan yang secara turun-temurun bermukim di Tangerang dengan bangga menyebut dirinya Cina Benteng, artinya Cina Tangerang. Pada perkembangan selanjutnya, utamanya oleh orang di luar komunitas mereka, Cina Benteng bukan hanya digunakan untuk mengacu kepada penduduk Tionghoa di kota Tangerang saja, tetapi juga penduduk Tionghoa di seluruh wilayah kabupaten Tangerang, termasuk: Sewan, Kedawung Wetan, Selapajang, Kampung Melayu, Tanjung Burung, Tanjung Pasir, Lemo, Curug, Legok, Tiga Raksa, Baur, Sepatan, Kebon Baru, Cengklong, Blimbing, Kosambi. 

Selain itu, Cina Benteng juga dapat ditemui di beberapa kawasan yang termasuk wilayah DKI Jakarta: Dadap, Cengkareng, Rawa Lele, Rawa Bokor. Terutama setelah Tragedi Pembantaian Angke Tahun 1740 banyak orang Tionghoa yang menyelamatkan diri dari kekejian Belanda dan bermukim di tempat ini. Mereka ini turut menambah besarnya penduduk Tionghoa di wilayah ini.

Selain pada waktu terjadinya peristiwa Tragedi Tangerang Juni 1946, dimana terjadi kerusuhan besar yang mengakibatkan 25.000 penduduk Tionghoa mengungsi ke Batavia, secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan antara etnik di wilayah ini―Melayu (Betawi), Sunda dan Tionghoa―berjalan sangat harmonis. 

Asal-usul Gambang Kromong tercipta ketika orang-orang Tionghoa Peranakan sudah semakin banyak di kota Batavia. Di waktu senggang mereka memainkan lagu-lagu Tionghoa dari kampung halaman kakek-moyang mereka di Cina dengan instrumen gesek Tionghoa su-kong, the-hian, dan kong-a-hian, bangsing (suling), dan ningning, dipadukan dengan gambang. Gambang yang merupakan instrumen yang diambil dari khazanah instrumen Sunda/Jawa digunakan sebagai pengganti fungsi iang-khim, yakni semacam kecapi Tionghoa, tetapi dimainkan dengan semacam alat pengetuk yang dibuat dari bambu pipih. Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1880-an barulah orkestra gambang tersebut ditambah dengan kromong, kendang, kempul, goong, kecrek. Dengan demikian terciptalah Gambang Kromong.

Dari pusat kota Batavia ketika itu, musik Gambang Kromong kemudian tersebar ke seluruh penjuru kota. Kini ia tidak hanya dikenal di Jakarta, tetapi juga di bagian utara Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek), bahkan sebelah barat Karawang sekarang ini. Kawasan-kawasan tersebut memang merupakan area budaya Betawi. Nada dan Laras Seperti halnya musik Tionghoa dan kebanyakan musik Timur lainnya, Gambang Kromong hanya memakai lima nada (pentatonis) yang semuanya mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa: liuh = sol (g), u = la (a), siang = do (c), che = re (d), dan kong = mi (e). Tidak ada nada fa = f dan si = b, seperti dalam musik diatonis, yakni musik Barat utamanya. Larasnya adalah salendro yang khas Tionghoa sehingga disebut Salendro Cina atau ada pula yang menyebutnya Salendro Mandalungan. 

Dengan demikian semua instrumen dalam orkestra Gambang Kromong dilaras sesuai dengan laras musik Tionghoa, mengikuti laras Salendro Cina tadi. Untuk memainkan lagu-lagu pobin utamanya, para pemusik (panjak) Gambang Kromong pada awalnya harus mampu membaca not-not yang ditulis dalam aksara Tionghoa tersebut, namun kemudian banyak panjak yang mampu memainkan lagu-lagu tersebut tanpa melihat notnya lagi karena sudah hafal.  [Ira-Citynews]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar