Foto:thejakartapost.com |
Nama
Toeti Heraty begitu harum seakan tak pernah memudar, sosok Toeti muncul sebagai
seorang perempuan dengan multitalents yang turut merintis berkembangnya
kesusastraan di Indonesia. Kumpulan puisi yang ditulis menjadi goresan nyata
hasil karya yang masih bisa dinikmati para penikmat seni, sastra khususnya.
Sekarang
saat seni dan budaya seolah mendapat prioritas terakhir di negara ini,
nampaknya kita perlu belajar kembali kisah hidup seorang Toeti Heraty yang
gigih mengemban pendidikan tanpa mengabaikan kodratnya sebagai seorang
perempuan Indonesia yang menjunjung tinggi seni dan budaya negerinya.
Toeti
kecil lahir di Bandung. Ia mengawali pendidikannya dengan latar belakang yang
jauh dari seni dan budaya yakni bidang kedokteran. Selang empat tahun setelah
tahun ke- IV pendidikan kedokterannya, Toeti melanjutkan pendidikannya ke
Belanda untuk mendalami bidang psikologi. Baginya, tak cukup untuk hanya
mengetahui keberadaan manusia secara anatomi, Toeti ingin memahami pribadi manusia
seutuhnya, tubuh dan jiwa.
Di
Belanda Toeti kemudian menikah dan memiliki anak kembar. Saat itu sekitar tahun
1957-an terjadi ketegangan politik antara Indonesia dan Belanda yang berbuntut
pemulangannya ke Indonesia, Toeti kemudian menyelesaikan studi psikologinya di
Universitas Indonesia, Jakarta. Namun “pencarian” itu belum selesai. Toeti
kembali mengambil pendidikan bidang filsafat di Leiden, Belanda. Yah,
menurutnya, pribadi manusia seutuhnya bukan hanya terdiri dari tubuh dan jiwa,
tapi juga pikiran, dan itu bisa dipelajari salah satunya melalui filsafat. Kala
petualang masih dijalani, bibit seni yang telah ada dalam dirinya perlahan
kembali bersemi. Pencarian itu kembali dilanjutkan.
Toeti
Heraty mendapat gelar Sarjana Muda Kedokteran dari Universitas Indonesia,
Jakarta pada tahun 1955, dan selanjutnya pada tahun 1962 lulus sebagai Sarjana
Psikologi dari Universitas Indonesia, Sarjana Filsafat dari Rijks Universiteit,
Leiden (1974), meraih gelar Doktor Filsafat dari Universitas Indonesia (1979),
dan Guru Besar Luar Biasa dari Universitas Indonesia (1994).
Saat
masih kuliah kedokteran, Toeti sudah gemar membaca buku-buku sastra dan
menonton pertunjukkan-pertunjukkan budaya seperti konser dan balet, demikian
juga saat di Belanda.
“I started writing, so I became a poet”,
pengakuan tulusnya kepada Media MSI saat berkunjung ke rumah sekaligus
galerinya di Jalan Cemara, Menteng.
Tahun
1966, nama Toeti mulai dikenal sebagai seorang penyair. Puisi-puisi yang
ditulisnya mulai diterbitkan. Bersamaan dengan itu juga ia menjadi salah
seorang yang turut serta merintis dibangunnya Taman Ismail Marzuki (TIM), saat
itu pusat-pusat budaya hampir tidak ada. Keterlibatannya sebagai Ketua
Lingkaran Seni, Ketua Dewan Kesenian, Rektor Institut Kesenian Jakarta dan hingga
kini anggota Akademi Jakarta.
Toeti
mengawali karir sebagai tenaga pengajar di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat di FSUI dan Ketua Program
Studi Pasca Sarjana Filsafat Universitas Indonesia, Toeti juga aktif memberi bimbingan
akademis di bidang filsafat, salah satunya bertindak sebagai promotor Dr.
Karlina Supeli dan Dr. Gadis Arivia Effendi. Kini beliau menjadi anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) untuk komisi kebudayaan. Disamping
kegiatan akademis di perguruan tinggi, beliau aktif pula dalam kegiatan feminis
sebagai Dewan Penasehat di Yayasan Suara Ibu Peduli, dan Koalisi Perempuan
Indonesia dan Solidaritas Perempuan.
Foto: writersunlimited.com |
Ia
juga aktif diundang berbagai kegiatan di mancanegara seperti Poetry International
di Rotterdam di tahun 1981, International Writers Program di IOWA State
University pada tahun 1985, pembacaan sajak di School of Oriental and African
Studies di London, serta tampil pada sejumlah seminar International untuk
bidang sastra dan filsafat di Den Haag, Toronto, Kuala Lumpur dan Berlin. Tahun
1981 mewakili Indonesia pada PEN International di Lyon, di Tokyo tahun 1984,
dan di Moskow tahun 2000.
Untuk
kegiatan bisnis, sejak tahun 1966 hingga kini menjabat sebagai Pimpinan Biro
Oktroi Roosseno. Perusahaan bergerak di bidang Patent, Trademark dan Copyright,
sehingga sempat menjadi Ketua Asian Patent Attorney Association untuk Grup
Indonesia, dan saat ini masih menjadi anggota Association Internationalle Pour
La Protection De La Propriertẻ Industrielle (AIPPI), anggota Asean Intellectual
property Association (AIPA) dan anggota Indonesia Intelectual Property Society
(IIPS). Toeti juga aktif sebagai narasumber dalam seminar-seminar baik dalam
dan luar negeri. Sebagai bukti pengabidannya, ia kerap mendapat penghargaan
dari dalam maupun luar negeri.
Perjalanan
Toeti Heraty melengkapi seluruh aspek kehidupan dari latar sosial budaya yang
sangat beragam. Sisi internal keluarga, Toeti Heraty, memerlukan banyak waktu
untuk melepaskan diri dari tradisi eksakta keluarga dengan ayahnya Prof.
Roosseno di bidang konstruksi beton bertulang, pula lima saudara dalam profesi
apoteker, arsitek, dokter, dan lain-lain. Akhirnya lewat studi kedokteran,
psikologi dan filsafat menemukan ekspresi pribadi pada goresan eksperimental.
Ayahnya adalah seorang professor beton bertulang dan konstruksi besi yang
tertarik pada musik, dan memimpin restorasi Borobudur proyek UNESCO, sementara
ibunya adalah figur perempuan yang sangat menikmati keindahan dan pandai seni
culinair.
“Toeti
Heraty adalah satu-satunya wanita penyair di tengah para penyair Indonesia
mutakhir yang terkemuka”. Demikian A. Teeuw mengawali komentarnya ketika
memasuki topic pembicaraan Toeti Heraty di dalam konteks penyair Indonesia pasca-1966. Pernyataan
kritikus sastra asal Belanda itu tentu bukan tanpa alasan. Ia memandang Toeti
Heraty sangat khas. Oleh karena itu, Toeti punya tempat tersendiri di dalam
peta kepenyairan Indonesia. Pendapat Teeuw yang terkesan melebih-lebihkan itu,
menjadi sangat wajar.
Kegiatan
Seni Budaya dilaksanakan di Galeri Cemara 6, Menteng. Ia menjadi pendiri Galeri cemara 6, di Menteng, yang
dibuka sejak 4 Maret 1994, dengan pameran lukisan, terutama lukisan Salim dan
Mochtar Apin dengan latar belakang Paris.
Sementara itu ia juga mengelola Wisma Mitra Budaya menggantikan Ibu Herawati
Diah sebagai ketua Yayasan Mitra Budaya Indonesia. Kegiatan Wisma Mitra Budaya
yang menjadi kantor majalah Mitra Jurnal Budaya dan Filsafat memang berhenti
karena gedung diambil Pertamina kembali, dan baik Yayasan dan Lingkar Mitra
Budaya diharapkan kegiatannya melebur dalam Lingkar Budaya Indonesia dan
Masyarakat Seni Indonesia, apalagi dengan buletin yang meneruskan majalah Mitra
yang terhenti pada edisi 11.
Eksperimen
pemikiran Toeti Heraty sebagian besar direfleksikan lewat potret galau perasaan
dan gagasan yang terkadang sangat ironis, bahkan paradoksal; atau sekadar
menumpahkan kegetirannya melalui gambar-gambar orang lain. Maka, pada saat
tertentu, mungkin saja ia menempatkan dirinya selaku subjek, dan pada saat yang
lain sekaligus juga sebagai objek, atau bertindak sepenuhnya sebagai subjek,
meski objek yang diamatinya memantulkan kepedihan bagi dirinya sendiri.
Kemampuannya berpikir, membaca dan menyelami sebuah makna, kemudian menuangkannya
dalam tulisan memang sangat ekspresif.[Ira-MediaMSI]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar