Rabu, 11 Mei 2016

KEHARUMAN YANG TIDAK PERNAH MEMUDAR



Foto:thejakartapost.com

Nama Toeti Heraty begitu harum seakan tak pernah memudar, sosok Toeti muncul sebagai seorang perempuan dengan multitalents yang turut merintis berkembangnya kesusastraan di Indonesia. Kumpulan puisi yang ditulis menjadi goresan nyata hasil karya yang masih bisa dinikmati para penikmat seni, sastra khususnya.

Sekarang saat seni dan budaya seolah mendapat prioritas terakhir di negara ini, nampaknya kita perlu belajar kembali kisah hidup seorang Toeti Heraty yang gigih mengemban pendidikan tanpa mengabaikan kodratnya sebagai seorang perempuan Indonesia yang menjunjung tinggi seni dan budaya negerinya.

Toeti kecil lahir di Bandung. Ia mengawali pendidikannya dengan latar belakang yang jauh dari seni dan budaya yakni bidang kedokteran. Selang empat tahun setelah tahun ke- IV pendidikan kedokterannya, Toeti melanjutkan pendidikannya ke Belanda untuk mendalami bidang psikologi. Baginya, tak cukup untuk hanya mengetahui keberadaan manusia secara anatomi, Toeti ingin memahami pribadi manusia seutuhnya, tubuh dan jiwa.

Di Belanda Toeti kemudian menikah dan memiliki anak kembar. Saat itu sekitar tahun 1957-an terjadi ketegangan politik antara Indonesia dan Belanda yang berbuntut pemulangannya ke Indonesia, Toeti kemudian menyelesaikan studi psikologinya di Universitas Indonesia, Jakarta. Namun “pencarian” itu belum selesai. Toeti kembali mengambil pendidikan bidang filsafat di Leiden, Belanda. Yah, menurutnya, pribadi manusia seutuhnya bukan hanya terdiri dari tubuh dan jiwa, tapi juga pikiran, dan itu bisa dipelajari salah satunya melalui filsafat. Kala petualang masih dijalani, bibit seni yang telah ada dalam dirinya perlahan kembali bersemi. Pencarian itu kembali dilanjutkan.

Toeti Heraty mendapat gelar Sarjana Muda Kedokteran dari Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 1955, dan selanjutnya pada tahun 1962 lulus sebagai Sarjana Psikologi dari Universitas Indonesia, Sarjana Filsafat dari Rijks Universiteit, Leiden (1974), meraih gelar Doktor Filsafat dari Universitas Indonesia (1979), dan Guru Besar Luar Biasa dari Universitas Indonesia (1994).

Saat masih kuliah kedokteran, Toeti sudah gemar membaca buku-buku sastra dan menonton pertunjukkan-pertunjukkan budaya seperti konser dan balet, demikian juga saat di Belanda.

I started writing, so I became a poet”, pengakuan tulusnya kepada Media MSI saat berkunjung ke rumah sekaligus galerinya di Jalan Cemara, Menteng.

Tahun 1966, nama Toeti mulai dikenal sebagai seorang penyair. Puisi-puisi yang ditulisnya mulai diterbitkan. Bersamaan dengan itu juga ia menjadi salah seorang yang turut serta merintis dibangunnya Taman Ismail Marzuki (TIM), saat itu pusat-pusat budaya hampir tidak ada. Keterlibatannya sebagai Ketua Lingkaran Seni, Ketua Dewan Kesenian, Rektor Institut Kesenian Jakarta dan hingga kini anggota Akademi Jakarta.

Toeti mengawali karir sebagai tenaga pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat di FSUI dan Ketua Program Studi Pasca Sarjana Filsafat Universitas Indonesia, Toeti juga aktif memberi bimbingan akademis di bidang filsafat, salah satunya bertindak sebagai promotor Dr. Karlina Supeli dan Dr. Gadis Arivia Effendi. Kini beliau menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) untuk komisi kebudayaan. Disamping kegiatan akademis di perguruan tinggi, beliau aktif pula dalam kegiatan feminis sebagai Dewan Penasehat di Yayasan Suara Ibu Peduli, dan Koalisi Perempuan Indonesia dan Solidaritas Perempuan.

Foto: writersunlimited.com
Ia juga aktif diundang berbagai kegiatan di mancanegara seperti Poetry International di Rotterdam di tahun 1981, International Writers Program di IOWA State University pada tahun 1985, pembacaan sajak di School of Oriental and African Studies di London, serta tampil pada sejumlah seminar International untuk bidang sastra dan filsafat di Den Haag, Toronto, Kuala Lumpur dan Berlin. Tahun 1981 mewakili Indonesia pada PEN International di Lyon, di Tokyo tahun 1984, dan di Moskow tahun 2000.  

Untuk kegiatan bisnis, sejak tahun 1966 hingga kini menjabat sebagai Pimpinan Biro Oktroi Roosseno. Perusahaan bergerak di bidang Patent, Trademark dan Copyright, sehingga sempat menjadi Ketua Asian Patent Attorney Association untuk Grup Indonesia, dan saat ini masih menjadi anggota Association Internationalle Pour La Protection De La Propriertẻ Industrielle (AIPPI), anggota Asean Intellectual property Association (AIPA) dan anggota Indonesia Intelectual Property Society (IIPS). Toeti juga aktif sebagai narasumber dalam seminar-seminar baik dalam dan luar negeri. Sebagai bukti pengabidannya, ia kerap mendapat penghargaan dari dalam maupun luar negeri.

Perjalanan Toeti Heraty melengkapi seluruh aspek kehidupan dari latar sosial budaya yang sangat beragam. Sisi internal keluarga, Toeti Heraty, memerlukan banyak waktu untuk melepaskan diri dari tradisi eksakta keluarga dengan ayahnya Prof. Roosseno di bidang konstruksi beton bertulang, pula lima saudara dalam profesi apoteker, arsitek, dokter, dan lain-lain. Akhirnya lewat studi kedokteran, psikologi dan filsafat menemukan ekspresi pribadi pada goresan eksperimental. Ayahnya adalah seorang professor beton bertulang dan konstruksi besi yang tertarik pada musik, dan memimpin restorasi Borobudur proyek UNESCO, sementara ibunya adalah figur perempuan yang sangat menikmati keindahan dan pandai seni culinair.

“Toeti Heraty adalah satu-satunya wanita penyair di tengah para penyair Indonesia mutakhir yang terkemuka”. Demikian A. Teeuw mengawali komentarnya ketika memasuki topic pembicaraan Toeti Heraty di dalam  konteks penyair Indonesia pasca-1966. Pernyataan kritikus sastra asal Belanda itu tentu bukan tanpa alasan. Ia memandang Toeti Heraty sangat khas. Oleh karena itu, Toeti punya tempat tersendiri di dalam peta kepenyairan Indonesia. Pendapat Teeuw yang terkesan melebih-lebihkan itu, menjadi sangat wajar.

Kegiatan Seni Budaya dilaksanakan di Galeri Cemara 6, Menteng. Ia menjadi pendiri Galeri cemara 6, di Menteng, yang dibuka sejak 4 Maret 1994, dengan pameran lukisan, terutama lukisan Salim dan Mochtar Apin dengan latar belakang Paris.  Sementara itu ia juga mengelola Wisma Mitra Budaya menggantikan Ibu Herawati Diah sebagai ketua Yayasan Mitra Budaya Indonesia. Kegiatan Wisma Mitra Budaya yang menjadi kantor majalah Mitra Jurnal Budaya dan Filsafat memang berhenti karena gedung diambil Pertamina kembali, dan baik Yayasan dan Lingkar Mitra Budaya diharapkan kegiatannya melebur dalam Lingkar Budaya Indonesia dan Masyarakat Seni Indonesia, apalagi dengan buletin yang meneruskan majalah Mitra yang terhenti pada edisi 11.

Eksperimen pemikiran Toeti Heraty sebagian besar direfleksikan lewat potret galau perasaan dan gagasan yang terkadang sangat ironis, bahkan paradoksal; atau sekadar menumpahkan kegetirannya melalui gambar-gambar orang lain. Maka, pada saat tertentu, mungkin saja ia menempatkan dirinya selaku subjek, dan pada saat yang lain sekaligus juga sebagai objek, atau bertindak sepenuhnya sebagai subjek, meski objek yang diamatinya memantulkan kepedihan bagi dirinya sendiri. Kemampuannya berpikir, membaca dan menyelami sebuah makna, kemudian menuangkannya dalam tulisan memang sangat ekspresif.[Ira-MediaMSI]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar