Minggu, 08 Mei 2016

BATIK PUSAKA BUDAYA TAK TERAGA


Oleh: Laretna T Adhisakti
Foto:dailymoeslem.com


Berbicara mengenai kekayaan nusantara, Indonesia memiliki lebih dari 500 suku bangsa dan bahasa yang keduanya bagian dari pusaka. Batik telah lama dikenal sebagai salah satu pusaka Indonesia. Dalam pengelompokan pusaka dunia, batik termasuk dalam intangible heritage of humanity (pusaka yang tidak terlihat) atau pusaka budaya yang tidak teraga dimana wayang juga termasuk di dalamnya, dan sudah lebih dulu dipatenkan. Sementara dalam klasifikasi tangible heritage of humanity (pusaka yang dapat dilihat/dirasa) Indonesia memiliki Candi Prambanan, Borobudur, Sangiran, Pulau Komodo, Ujung Kulon, Bukit Barisan di Sumatera dan Bukit Lorens di Papua, dan sebagainya. Pusaka ini biasanya lebih dikenal sebagai cagar budaya. Pernyataan tersebut diungkap Laretna T Adhisakti, Dosen sekaligus Koordinator dari Centre for Heritage Conservation Departement of Architecture & Planning, Fakultas Mesin Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.

Sejak tahun 2001 ada 90 dari sekitar 70 negara yang masuk klasifikasi warisan pusaka dunia yang tergolong intangible herritage. Negara Cina menduduki peringkat paling banyak yakni 4 buah pusaka, sedangkan Indonesia 2 buah yakni wayang dan keris. Penilaian didasarkan pada proses membuat wayang dan mendalangnya. Dengan kata lain lebih kepada nilai-nilai yang teraga bukan materialnya.

Disamping 2 pusaka tersebut, Indonesia juga memiliki kekayaan bahasa yang sangat beragam. Sebagai bagian intangible heritage bahasa menjadi identitas di suatu tempat, karenanya penting untuk melestarikan dan mewarisakannya pada anak cucu. Intangible heritage selanjutnya adalah ruang-ruang budaya dan tempat-tempat untuk festival. Di Toraja ada lokasi-lokasi tersendiri untuk melakukan upacara adat, semisal upacara pemakaman.

Masyarakat Indonesia kini boleh berbangga, karena batik telah dipatenkan oleh UNESCO sebagai pusaka budaya Indonesia yang disebut Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage awal Oktober 2009 lalu. Sebagai lembaga internasional, UNESCO memiliki penilaian sendiri terhadap sebuah pusaka. Terkait batik, diperlukan proses pembuatan yang tidak singkat dan biasanya dikerjakan oleh masyarakat bawah/kecil. Sebagai pusaka “high culture” batik kaya akan motif dan material. Sehingga mereka yang termasuk pusaka bukan hanya batik tulis yang selama ini begitu terkenal, tapi juga batik yang terkesan seperti sebuah coretan tangan dengan bentuk yang variatif dan beragam.

Batik disebut Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage adalah terkait nilai-nilai non material yang ingin diangkat, bukan material. Bila sebuah batik umumnya sangat menonjolkan motif karena mengandung simbol-simbol bernilai tinggi, sebaliknya proses pembuatannyalah yang mengandung nilai lebih tinggi.

Batik merupakan hasil sebuah proses, dan sudah diturunkan dari generasi ke generasi.  Dibuat dengan titik-titik dan garis, dan dikerjakan langsung dengan tangan. Motif-motifnya mengandung simbol tertentu. Bahkan ada yang menggunakannya sebagai upaya meditasi. Bahkan bagi yang sedang mempelajari Yoga atau sejenisnya, batik bisa menjadi salah satu alternatif.

Pencelupan menjadi proses yang tidak bisa dipisahkan dalam membatik meskipun sekarang prosesnya banyak menggunakan kimia. Namun batik yang prosesnya lebih dari 50 tahun biasanya menggunakan pewarna alam. Pada akhirnya UNESCO pun berharap agar para pengrajin dapat menggunakan pewarnaan alami seperti indigo karena limbahnya bisa menjadi pupuk, dan menyuburkan tanaman.

Sementara itu dalam penelaahan lebih jauh, pembuatan batik dengan mesin tanpa melakukan pencantingan, tanpa cap tanpa proses pencelupan sesungguhnya bukan termasuk batik.  Sebagai refleksi pribadi, kita dapat menengok apakah selama ini kita telah memakai batik sesungguhnya ataukah bukan, BMB (Batik memang batik), atau BBB (Batik bukan batik)?”

Upah Minim
Penting untuk memakai batik asli sebagai bentuk kepedulian terhadap para pengrajinnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa upah para pengrajin di Indonesia sangat minim, akibatnya mereka hidup sangata miskin. Tak heran banyak dari mereka yang memilih membatik di luar negeri.  Seharusnya tiap kali  memakai batik, kita perlu berhubungan dengan pengrajinnya, bahkan tahu siapa pembuatnya.

Melalui kepercayaan yang telah diberikan UNESCO, sudah sepatutnya seluruh masyarakat Indonesia turut melestarikan budaya Nusantara dengan cara menggunakan batik asli dan tidak yang menggunakan printing, menjauhi penggunaan barang chemical dalam pencelupan batik, dan membeli batik yang memang batik untuk membantu meningkatkan taraf hidup para pengrajinnya. [Ira-MediaMSI]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar