Minggu, 22 Mei 2016

KOMUNITAS CINA BENTENG


foto:bantenkini.com

Kotamadya Tangerang, hanya berjarak satu kilometer dari Ibukota Republik Indonesia, Jakarta. Di Tangerang inilah hidup komunitas Cina yang sudah menetap ratusan tahun. Cina Benteng, demikianlah sebutannya. Kehadiran mereka yang sudah turun temurun pun melebur dengan warga sekitar. Kini, di tengah arus zaman, mereka tak ingin melupakan asal-usul. Mengadakan perayaan Imlek 2557. Sebuah tradisi perayaan tahun baru Konghucu.  Di Kelurahan Sukasari, Kotamadya Tangerang, berdiri Klenteng Boen Tek Bio (baca: Bun Tek Bio), sebuah tempat upacara persembahyangan orang-orang Tionghoa, yang menganut agama Budha, Khonghucu, dan Tao. Melihat sepintas, siapa sangka klenteng ini sudah berusia lebih dari tiga abad. Menjadikannya sebagai klenteng tertua di Tangerang.

Nama Boen Tek Bio berarti Klenteng Kebajikan Benteng. Dari sini bisa ditelusur asal mula komunitas Cina Benteng. Pendiri klenteng membawa kami menemui Tjin Eng, orang yang dianggap masyarakat setempat tahu sejarah Cina Benteng.  Komunitas Tionghoa, yang mendirikan Klenteng Boen Tek Bio, diperkirakan sudah bermukim di kawasan ini sejak tahun 1407. Konon, rombongan orang Tionghoa datang ke tempat ini, menggunakan perahu. Mulanya tinggal di sebelah timur Kali Cisadane, yang sekarang disebut sebagai Kampung Teluk Naga.

Semakin lama, populasinya kian membesar. Sebagian pindah, bermukim ke pinggiran Kali Cisadane, tak jauh dari pusat Kota Tangerang sekarang. Sejak itu, mereka mulai dikenal sebagai Cina Benteng. Pada abad ke-18, Cina Benteng identik dengan orang Cina yang jago bela diri, serta hidup bersahaja. Karena itu seringkali dianggap sebagai kaum Cina dari udik. Mata pencaharian mereka sebagian besar sebagai petani, peternak, pedagang, dan buruh kecil.

Kini, keturunan mereka sebagian besar masih bertahan di sini, dan tetap dikenal sebagai Cina Benteng. Adat istiadat nenek moyang pun tetap mereka pertahankan. Seperti dalam tata upacara perkawinan dan kematian. Selain itu, di setiap rumah orang Cina Benteng, masih terdapat meja abu, tempat bersembahyang menghormati leluhur mereka. Tahun ini pun, perayaan tahun baru imlek tidak mereka lewatkan. Para pekerja ini sedang membuat dodol. Bukan sembarang dodol, karena inilah yang dikenal sebagai kue keranjang. Penganan khas imlek. Kue keranjang yang jumlahnya ratusan ini dibuat di rumah Keluarga Lauw, di Kecamatan Batu Ceper, Tangerang.

foto:bintang.com
Penganan ini bukan untuk dimakan sendiri, tapi ini adalah pesanan yang selalu membanjir menjelang imlek. Bagi orang Tionghoa, tanpa kue keranjang, perayaan imlek terasa hambar. Padahal pembuatannya cukup lama. Harus difermentasi dulu selama setengah bulan. Lalu masih harus dikukus 12 jam. Bagi komunitas Tionghoa di Tangerang, nama Keluarga Lauw sudah identik dengan kue keranjang. Tak heran, karena Keluarga Lauw sudah memproduksi kue keranjang ini sejak awal abad ke-20, dirintis oleh Lauw Soen Lim. Kini pembuatan kue dikelola generasi ketiga Keluarga Lauw.

Jumlah kue keranjang yang hanya dibuat menjelang imlek ini tidak main-main. Keluarga Lauw memproduksinya sebanyak 30 ton. Sementara itu, di Kelurahan Sukasari, Tangerang, yang dikenal sebagai Kampung Cina Benteng, ada kesibukan lain. Keluarga Teng menyajikan aneka penganan yang disukai leluhurnya, di meja abu, sebagai penghormatan. Makanan yang wajib disajikan saat menjelang imlek ini disebut samseng, yakni tiga sajian yang melambangkan tiga alam, udara, darat, dan air. Biasanya berupa ayam, yang mewakili unsur udara, babi, dianggap mewakili unsur darat, serta ikan bandeng, yang mewakili unsur air.

Keluarga besar Teng juga membakar uang-uang kertas, yang bermakna agar para leluhur tidak kekurangan uang di alam lain. Mereka yakin, dengan ritual seperti ini, dapat membantu arwah leluhur dalam kehidupannya di alam lain. 

Bila diamati, cukup banyak kaum muda Tionghoa yang datang sembahyang menjelang imlek. Banyak dari mereka menganggap imlek bukan sekedar tradisi nenek moyang, tapi juga sebagai ajang refleksi diri, agar dapat lebih baik dalam melangkah ke masa depan. Seperti Setiawan. Baginya, perayaan imlek bukan sekedar karena ikut-ikutan. Inilah saat berterima kasih karena hidupnya telah banyak dibantu dan dibimbing.
Hari mulai senja. Lilin-lilin berukuran besar yang merupakan ungkapan rasa terima kasih kepada para dewa, mulai diatur di halaman Klenteng Boen Tek Bio. Nanti, menjelang malam tiba, lilin-lilin yang merupakan simbol penerang untuk menapaki jalan masa depan, akan disulut.

Malam telah tiba. Gerimis yang turun, tidak menyurutkan langkah menuju Klenteng Boen Tek Bio. Sejak petang, tempat peribadatan yang tidak terlalu luas ini, mulai dipadati warga Tionghoa yang ingin bersembahyang, mengucapkan rasa terima kasih mereka kepada para dewa, dan leluhurnya, yang diyakini telah memberikan pertolongan dalam berusaha.  Wangi aroma hio yang terbakar, memenuhi udara di sekitar klenteng. 

Perayaan imlek, sesungguhnya merupakan acara para petani Tionghoa untuk merayakan pergantian musim. Musim semi yang datang, merupakan saat yang baik untuk bercocok tanam. Saat yang tepat untuk menyambut datangnya berkah.

Selain dengan bersembahyang di klenteng, mereka memeriahkannya dengan kesenian barongsai. Konon, tari barongsai ini juga untuk menakut-nakuti setan yang kerap muncul dalam kehidupan. Namun dalam perkembangan jaman, makna perayaan imlek jadi berbeda. Di satu sisi punya makna agamis, sementara di sisi lain memiliki makna budaya. 

Menjelang tengah malam, hujan semakin deras. Seakan Sang Pencipta menimpali permohonan yang dipanjatkan, dengan melimpahkan berkahnya ke bumi melalui tetesan air. Memberi kesuburan bagi tanah yang disiraminya. Seperti makna awal dari perayaan imlek para petani Tionghoa, menyambut datangnya musim tanam. [Ira-Citynews]


3 komentar:

  1. Saya sedang menulis buku berdasarkan ceritera2 ibu saya, dan beliau lahir di Tangerang sebelum Perang Dunia ke2.
    Dlm ceritera2 ini dia menyebut nama2 tokoh2 orang Tionghoa dari daerah Tangerang.
    Nama2 yanf saya masih ingat adalah Tan Aytoen...Lau (Lao) Seha...Keluarga Souw dan Oey Djie San.
    Pertanyaan saya adalah siapakah Tan Ayoen...Lau (Lao seha)...Apa kah mereka Tuan Tanah..atau Kapitein der Chinezen...

    Terima kasih

    BalasHapus
  2. Saya sedang menulis buku berdasarkan ceritera2 ibu saya, dan beliau lahir di Tangerang sebelum Perang Dunia ke2.
    Dlm ceritera2 ini dia menyebut nama2 tokoh2 orang Tionghoa dari daerah Tangerang.
    Nama2 yanf saya masih ingat adalah Tan Aytoen...Lau (Lao) Seha...Keluarga Souw dan Oey Djie San.
    Pertanyaan saya adalah siapakah Tan Ayoen...Lau (Lao seha)...Apa kah mereka Tuan Tanah..atau Kapitein der Chinezen...

    Terima kasih

    BalasHapus
  3. Mas Johan Wakkary terima kasih atas responnya, mohon maaf saya tidak bisa menjawab pertanyaan Anda, karena saya tidak mempelajari sejarah Cina Benteng di Tangerang mendetail.


    BalasHapus