Isu krisis energi di seluruh dunia santer terdengar. Dampaknya pun
sudah semakin terasa mulai dari industri besar sampai “industri rumahan”. Harga
bahan bakar melonjak tinggi seolah tak terkendali. Seluruh penjuru sibuk
mencari alternatif pengganti bahan bakar berbasis fosil ini. Boleh jadi krisis
terjadi karena pengelolaan sumber daya alam yang kurang tepat, yang bila
ditelaah akan merambat kemana-mana. Sebelum saling menuding, ada baiknya
menilik bagaimana bahan bakar energi ini muncul.
Menurut penelitian, terbentuknya lapisan minyak bumi jenis ini dibutuhkan
proses jutaan tahun. Batuan yang mengandung minyak bumi tertua diprediksi
berumur 600 juta tahun dan yang termuda berumur 1 juta tahun. Sementara batuan
yang mengandung minyak bumi berumur antara 10 juta hingga 270 juta tahun.
Bisa dibayangkan, betapa proses “reproduksi” yang tidak sebanding
dengan seribu kali masa panen jagung ini, sementara manusia mendulang minyak
dan gas bumi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa memikirkan dampak yang
akan terjadi bila persediaan menipis.
Komponen pendukung terbentuknya minyak bumi berasal dari organisme
tumbuhan dan hewan berukuran sangat kecil yang hidup di lautan purba yang mati
dan terkubur, kemudian tertimbun pasir dan lumpur di dasar laut selama jutaan
tahun membentuk lapisan yang kaya zat organic, akhirnya akan membentuk batuan
endapan atau sedimentary rock, proses
terus berulang dimana satu lapisan akan menutupi lapisan sebelumnya selama
jutaan tahun. Kemudian lapisan lautan tersebut ada yang menyusut dan berpindah
tempat akibat pergeseran bumi.
Minyak dan gas bumi terbentuk dari tiga faktor utama yakni, bebatuan
asal atau source rock, perpindahan
hidrokarbon dari bebatuan asal menuju bebatuan reservoir, dan ketiga adanya jebakan atau entrapment geologis.
Deposit yang membentuk endapan tersebut umumnya tidak mengandung
cukup oksigen untuk mendekomposisi material organik secara komplit. Bakteri
mengurai zat ini, molekul demi molekul menjadi material yang kaya dengan kandungan
hidrogen dan karbon. Dengan tekanan temperatur yang tinggi lapisan bebatuan
diatasnya akan mendestilasi sisa bahan organik sedikit demi sedikit dan
mengubahnya menjadi minyak dan gas bumi. Penyulingan ini saja memerlukan proses
waktu dan suhu tertentu yang hanya dimiliki oleh zona laut tertentu.
Mencermati kepulauan Indonesia dengan kekayaan alam melimpah
termasuk gas alamnya, akan menjadi tanda tanya besar manakala negara ini turut
mengalami krisis energi? Sontak kita geger sewaktu
menyaksikan acara televisi yang mempertontonkan bagaimana masyarakat menengah
ke bawah antri berjam-jam, bahkan tak jarang terlibat “kontak fisik” demi mendapatkan
“jatah” subsidi minyak tanah, atau membeli bahan bakar minyak dengan harga
lebih rendah ketimbang di pasaran. Sementara jumlah kemiskinan yang berpengaruh
terhadap daya beli, terus bertambah dikarenakan harga bahan bakar merambat melebihi
harga kebutuhan pokok, hingga akhirnya masyarakat bawah tak lagi dapat
mengeluh. Jangankan membeli, berpikirpun tak mampu.
Dalam daftar 20 besar negara dengan cadangan gas bumi terbesar,
Indonesia menempati urutan ke 11 dengan jumlah cadangan 98 triliun kaki
persegi. Ketika muncul isu menipisnya cadangan minyak bumi dan gas alam
sebenarnya Indonesia masih memiliki cadangan minyak sebesar 3,99 miliar barel
yang diperkirakan baru habis dieksploitasi selama 11 tahun. Dan, masih memiliki
potensi cadangan sejumlah 4,41 miliar barel.
Sedang stok gas bumi mencapai 187 triliun kaki kubik. Atau akan
habis dalam waktu 68 tahun dengan tingkat produksi per tahun sebesar 2,77
triliun kaki kubik. Cadangan batu bara ada sekitar 18,7 miliar ton lagi. Atau
dengan tingkat produksi 170 juta ton per tahun. Asumsinya sumber daya tersebut cukup
buat memenuhi kebutuhan selama 110 tahun (sumber: Kementerian ESDM,
14/03/2008).
Salah satu daerah penghasil gas alam terbesar di Indonesia adalah
Lhokseumawe, Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Gas alam telah diproduksi sejak
tahun 1979, dan diekspor ke Jepang dan Korea Selatan. Berdarkan data yang
diperoleh dari Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) di Darwin Australia Utara,
pada tahun 2005 ditemukan sekitar 5.081 juta barel cadangan minyak dan gas bumi
(migas) di Laut Timor.
Data tersebut diperoleh dari sejumlah perusahaan migas yang kini
beroperasi di Laut Timor, jauh sebelum Timor Leste merdeka. Jaringan YPTB juga
memperoleh informasi dari sejumlah ahli minyak di Australia yang mengatakan
bahwa total cadangan migas di Laut Timor sesungguhnya jauh lebih besar dari
data awal yang dikemukakan pemerintah Australia sebelumnya.
Angka produksi migasnya sekitar 250 ribu barel per hari. Jika harga
minyak dunia saat ini US$ 67, maka tiap tahunnya Laut Timor akan menghasilkan
US$1 miliar (US$ 7 juta setiap hari). Nah, bila angka itu dikonversi ke rupiah
dengan kurs Rp 10,300/ Dolar Amerika, produksi migas di Laut Timor akan
mencapai Rp 172 miliar/ hari.
Namun, angka fantastis itu kini dikuasai Australia dan Timor Timur
saja. Itu pun Timor Timur hanya mendapat bagian 20-30%. Sementara di Aceh
ditemukan cadangan migas terbesar di dunia, yakni 320,79 miliar barel.
Bila dilihat dari sisi potensi energi, tentu saja Indonesia
seharusnya tidak perlu mengalami krisis energi, dan mampu memenuhi kebutuhan
energi masyarakatnya. Seharusnya Indonesia mampu menjadi negara yang makmur
karena kekayaan energinya bukan sebaliknya jauh dari kesejahteraan.
Mengacu pada asumsi dan kisaran data diatas, sangat tidak
“seiring-sejalan” antara potensi dan krisis yang tengah terjadi. Kekayaan yang
dimiliki tak ubahnya seperti fatamorgana, hanya sebatas prediksi dan kalkulasi.
Tetapi kalau saja prediksi dan kalkulasi itu benar adanya, kemana gas
bumiku menguap? [Ira]