Minggu, 22 Mei 2016

KEMANA GAS BUMIKU MENGUAP ??



Isu krisis energi di seluruh dunia santer terdengar. Dampaknya pun sudah semakin terasa mulai dari industri besar sampai “industri rumahan”. Harga bahan bakar melonjak tinggi seolah tak terkendali. Seluruh penjuru sibuk mencari alternatif pengganti bahan bakar berbasis fosil ini. Boleh jadi krisis terjadi karena pengelolaan sumber daya alam yang kurang tepat, yang bila ditelaah akan merambat kemana-mana. Sebelum saling menuding, ada baiknya menilik bagaimana bahan bakar energi ini muncul.

Menurut penelitian, terbentuknya lapisan minyak bumi jenis ini dibutuhkan proses jutaan tahun. Batuan yang mengandung minyak bumi tertua diprediksi berumur 600 juta tahun dan yang termuda berumur 1 juta tahun. Sementara batuan yang mengandung minyak bumi berumur antara 10 juta hingga 270 juta tahun.

Bisa dibayangkan, betapa proses “reproduksi” yang tidak sebanding dengan seribu kali masa panen jagung ini, sementara manusia mendulang minyak dan gas bumi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi bila persediaan menipis.

Komponen pendukung terbentuknya minyak bumi berasal dari organisme tumbuhan dan hewan berukuran sangat kecil yang hidup di lautan purba yang mati dan terkubur, kemudian tertimbun pasir dan lumpur di dasar laut selama jutaan tahun membentuk lapisan yang kaya zat organic, akhirnya akan membentuk batuan endapan atau sedimentary rock, proses terus berulang dimana satu lapisan akan menutupi lapisan sebelumnya selama jutaan tahun. Kemudian lapisan lautan tersebut ada yang menyusut dan berpindah tempat akibat pergeseran bumi.

Minyak dan gas bumi terbentuk dari tiga faktor utama yakni, bebatuan asal atau source rock, perpindahan hidrokarbon dari bebatuan asal menuju bebatuan reservoir, dan ketiga adanya jebakan atau entrapment geologis.

Deposit yang membentuk endapan tersebut umumnya tidak mengandung cukup oksigen untuk mendekomposisi material organik secara komplit. Bakteri mengurai zat ini, molekul demi molekul menjadi material yang kaya dengan kandungan hidrogen dan karbon. Dengan tekanan temperatur yang tinggi lapisan bebatuan diatasnya akan mendestilasi sisa bahan organik sedikit demi sedikit dan mengubahnya menjadi minyak dan gas bumi. Penyulingan ini saja memerlukan proses waktu dan suhu tertentu yang hanya dimiliki oleh zona laut tertentu.

Mencermati kepulauan Indonesia dengan kekayaan alam melimpah termasuk gas alamnya, akan menjadi tanda tanya besar manakala negara ini turut mengalami krisis energi? Sontak kita geger sewaktu menyaksikan acara televisi yang mempertontonkan bagaimana masyarakat menengah ke bawah antri berjam-jam, bahkan tak jarang terlibat “kontak fisik” demi mendapatkan “jatah” subsidi minyak tanah, atau membeli bahan bakar minyak dengan harga lebih rendah ketimbang di pasaran. Sementara jumlah kemiskinan yang berpengaruh terhadap daya beli, terus bertambah dikarenakan harga bahan bakar merambat melebihi harga kebutuhan pokok, hingga akhirnya masyarakat bawah tak lagi dapat mengeluh. Jangankan membeli, berpikirpun tak mampu.

Dalam daftar 20 besar negara dengan cadangan gas bumi terbesar, Indonesia menempati urutan ke 11 dengan jumlah cadangan 98 triliun kaki persegi. Ketika muncul isu menipisnya cadangan minyak bumi dan gas alam sebenarnya Indonesia masih memiliki cadangan minyak sebesar 3,99 miliar barel yang diperkirakan baru habis dieksploitasi selama 11 tahun. Dan, masih memiliki potensi cadangan sejumlah 4,41 miliar barel.

Sedang stok gas bumi mencapai 187 triliun kaki kubik. Atau akan habis dalam waktu 68 tahun dengan tingkat produksi per tahun sebesar 2,77 triliun kaki kubik. Cadangan batu bara ada sekitar 18,7 miliar ton lagi. Atau dengan tingkat produksi 170 juta ton per tahun. Asumsinya sumber daya tersebut cukup buat memenuhi kebutuhan selama 110 tahun (sumber: Kementerian ESDM, 14/03/2008).

Salah satu daerah penghasil gas alam terbesar di Indonesia adalah Lhokseumawe, Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Gas alam telah diproduksi sejak tahun 1979, dan diekspor ke Jepang dan Korea Selatan. Berdarkan data yang diperoleh dari Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) di Darwin Australia Utara, pada tahun 2005 ditemukan sekitar 5.081 juta barel cadangan minyak dan gas bumi (migas) di Laut Timor.
Data tersebut diperoleh dari sejumlah perusahaan migas yang kini beroperasi di Laut Timor, jauh sebelum Timor Leste merdeka. Jaringan YPTB juga memperoleh informasi dari sejumlah ahli minyak di Australia yang mengatakan bahwa total cadangan migas di Laut Timor sesungguhnya jauh lebih besar dari data awal yang dikemukakan pemerintah Australia sebelumnya.

Angka produksi migasnya sekitar 250 ribu barel per hari. Jika harga minyak dunia saat ini US$ 67, maka tiap tahunnya Laut Timor akan menghasilkan US$1 miliar (US$ 7 juta setiap hari). Nah, bila angka itu dikonversi ke rupiah dengan kurs Rp 10,300/ Dolar Amerika, produksi migas di Laut Timor akan mencapai Rp 172 miliar/ hari.

Namun, angka fantastis itu kini dikuasai Australia dan Timor Timur saja. Itu pun Timor Timur hanya mendapat bagian 20-30%. Sementara di Aceh ditemukan cadangan migas terbesar di dunia, yakni 320,79 miliar barel.
Bila dilihat dari sisi potensi energi, tentu saja Indonesia seharusnya tidak perlu mengalami krisis energi, dan mampu memenuhi kebutuhan energi masyarakatnya. Seharusnya Indonesia mampu menjadi negara yang makmur karena kekayaan energinya bukan sebaliknya jauh dari kesejahteraan.

Mengacu pada asumsi dan kisaran data diatas, sangat tidak “seiring-sejalan” antara potensi dan krisis yang tengah terjadi. Kekayaan yang dimiliki tak ubahnya seperti fatamorgana, hanya sebatas prediksi dan kalkulasi.  Tetapi kalau saja prediksi  dan kalkulasi itu benar adanya, kemana gas bumiku menguap? [Ira]

KOMUNITAS CINA BENTENG


foto:bantenkini.com

Kotamadya Tangerang, hanya berjarak satu kilometer dari Ibukota Republik Indonesia, Jakarta. Di Tangerang inilah hidup komunitas Cina yang sudah menetap ratusan tahun. Cina Benteng, demikianlah sebutannya. Kehadiran mereka yang sudah turun temurun pun melebur dengan warga sekitar. Kini, di tengah arus zaman, mereka tak ingin melupakan asal-usul. Mengadakan perayaan Imlek 2557. Sebuah tradisi perayaan tahun baru Konghucu.  Di Kelurahan Sukasari, Kotamadya Tangerang, berdiri Klenteng Boen Tek Bio (baca: Bun Tek Bio), sebuah tempat upacara persembahyangan orang-orang Tionghoa, yang menganut agama Budha, Khonghucu, dan Tao. Melihat sepintas, siapa sangka klenteng ini sudah berusia lebih dari tiga abad. Menjadikannya sebagai klenteng tertua di Tangerang.

Nama Boen Tek Bio berarti Klenteng Kebajikan Benteng. Dari sini bisa ditelusur asal mula komunitas Cina Benteng. Pendiri klenteng membawa kami menemui Tjin Eng, orang yang dianggap masyarakat setempat tahu sejarah Cina Benteng.  Komunitas Tionghoa, yang mendirikan Klenteng Boen Tek Bio, diperkirakan sudah bermukim di kawasan ini sejak tahun 1407. Konon, rombongan orang Tionghoa datang ke tempat ini, menggunakan perahu. Mulanya tinggal di sebelah timur Kali Cisadane, yang sekarang disebut sebagai Kampung Teluk Naga.

Semakin lama, populasinya kian membesar. Sebagian pindah, bermukim ke pinggiran Kali Cisadane, tak jauh dari pusat Kota Tangerang sekarang. Sejak itu, mereka mulai dikenal sebagai Cina Benteng. Pada abad ke-18, Cina Benteng identik dengan orang Cina yang jago bela diri, serta hidup bersahaja. Karena itu seringkali dianggap sebagai kaum Cina dari udik. Mata pencaharian mereka sebagian besar sebagai petani, peternak, pedagang, dan buruh kecil.

Kini, keturunan mereka sebagian besar masih bertahan di sini, dan tetap dikenal sebagai Cina Benteng. Adat istiadat nenek moyang pun tetap mereka pertahankan. Seperti dalam tata upacara perkawinan dan kematian. Selain itu, di setiap rumah orang Cina Benteng, masih terdapat meja abu, tempat bersembahyang menghormati leluhur mereka. Tahun ini pun, perayaan tahun baru imlek tidak mereka lewatkan. Para pekerja ini sedang membuat dodol. Bukan sembarang dodol, karena inilah yang dikenal sebagai kue keranjang. Penganan khas imlek. Kue keranjang yang jumlahnya ratusan ini dibuat di rumah Keluarga Lauw, di Kecamatan Batu Ceper, Tangerang.

foto:bintang.com
Penganan ini bukan untuk dimakan sendiri, tapi ini adalah pesanan yang selalu membanjir menjelang imlek. Bagi orang Tionghoa, tanpa kue keranjang, perayaan imlek terasa hambar. Padahal pembuatannya cukup lama. Harus difermentasi dulu selama setengah bulan. Lalu masih harus dikukus 12 jam. Bagi komunitas Tionghoa di Tangerang, nama Keluarga Lauw sudah identik dengan kue keranjang. Tak heran, karena Keluarga Lauw sudah memproduksi kue keranjang ini sejak awal abad ke-20, dirintis oleh Lauw Soen Lim. Kini pembuatan kue dikelola generasi ketiga Keluarga Lauw.

Jumlah kue keranjang yang hanya dibuat menjelang imlek ini tidak main-main. Keluarga Lauw memproduksinya sebanyak 30 ton. Sementara itu, di Kelurahan Sukasari, Tangerang, yang dikenal sebagai Kampung Cina Benteng, ada kesibukan lain. Keluarga Teng menyajikan aneka penganan yang disukai leluhurnya, di meja abu, sebagai penghormatan. Makanan yang wajib disajikan saat menjelang imlek ini disebut samseng, yakni tiga sajian yang melambangkan tiga alam, udara, darat, dan air. Biasanya berupa ayam, yang mewakili unsur udara, babi, dianggap mewakili unsur darat, serta ikan bandeng, yang mewakili unsur air.

Keluarga besar Teng juga membakar uang-uang kertas, yang bermakna agar para leluhur tidak kekurangan uang di alam lain. Mereka yakin, dengan ritual seperti ini, dapat membantu arwah leluhur dalam kehidupannya di alam lain. 

Bila diamati, cukup banyak kaum muda Tionghoa yang datang sembahyang menjelang imlek. Banyak dari mereka menganggap imlek bukan sekedar tradisi nenek moyang, tapi juga sebagai ajang refleksi diri, agar dapat lebih baik dalam melangkah ke masa depan. Seperti Setiawan. Baginya, perayaan imlek bukan sekedar karena ikut-ikutan. Inilah saat berterima kasih karena hidupnya telah banyak dibantu dan dibimbing.
Hari mulai senja. Lilin-lilin berukuran besar yang merupakan ungkapan rasa terima kasih kepada para dewa, mulai diatur di halaman Klenteng Boen Tek Bio. Nanti, menjelang malam tiba, lilin-lilin yang merupakan simbol penerang untuk menapaki jalan masa depan, akan disulut.

Malam telah tiba. Gerimis yang turun, tidak menyurutkan langkah menuju Klenteng Boen Tek Bio. Sejak petang, tempat peribadatan yang tidak terlalu luas ini, mulai dipadati warga Tionghoa yang ingin bersembahyang, mengucapkan rasa terima kasih mereka kepada para dewa, dan leluhurnya, yang diyakini telah memberikan pertolongan dalam berusaha.  Wangi aroma hio yang terbakar, memenuhi udara di sekitar klenteng. 

Perayaan imlek, sesungguhnya merupakan acara para petani Tionghoa untuk merayakan pergantian musim. Musim semi yang datang, merupakan saat yang baik untuk bercocok tanam. Saat yang tepat untuk menyambut datangnya berkah.

Selain dengan bersembahyang di klenteng, mereka memeriahkannya dengan kesenian barongsai. Konon, tari barongsai ini juga untuk menakut-nakuti setan yang kerap muncul dalam kehidupan. Namun dalam perkembangan jaman, makna perayaan imlek jadi berbeda. Di satu sisi punya makna agamis, sementara di sisi lain memiliki makna budaya. 

Menjelang tengah malam, hujan semakin deras. Seakan Sang Pencipta menimpali permohonan yang dipanjatkan, dengan melimpahkan berkahnya ke bumi melalui tetesan air. Memberi kesuburan bagi tanah yang disiraminya. Seperti makna awal dari perayaan imlek para petani Tionghoa, menyambut datangnya musim tanam. [Ira-Citynews]


Sabtu, 14 Mei 2016

MENELUSURI SENI BUDAYA TIONGHOA - GAMBANG KROMONG




foto:kratonpedia.com
Gambang kromong dikenal sebagai musik tradisional Betawi. Wilayah budaya Betawi bukan hanya meliputi wilayah administratif DKI Jakarta saja, namun tersebar sampai ke Tangerang di sebelah barat, Bogor bagian utara di sebelah selatan, dan Bekasi di sebelah timur. Gambang kromong sering ditanggap dalam suatu pesta perkawinan, untuk mengiringi para tamu yang hendak ngibing cokèk. Pertunjukan Lenong bukan Lenong kalau tidak diiringi Gambang Kromong. Singkat kata Gambang Kromong selalu ditampilkan dalam berbagai acara budaya Betawi dan sudah menjadi trade mark kota Jakarta. Di pihak lain, di beberapa wilayah kabupaten Tangerang, yang secara administratif termasuk ke dalam propinsi Banten, sendiri cukup banyak perkumpulan Gambang Kromong dan wayang cokèk, sehingga dapat dikatakan masyarakat Tangerang, terutama komunitas Peranakannya, tak terpisahkan dari Gambang Kromong dan wayang cokèk.

Menurut data yang dikutip oleh Ninuk Kleden-Probonegoro (2002), ada empat kecamatan di Kabupaten Tangerang yang terbanyak mempunyai grup Gambang Kromong dan wayang cokèk: Teluk Naga, Kosambi, Sepatan dan Legok. Sejak dahulu memang kota Batavia telah dihuni oleh penduduk dari berbagai belahan dunia. Tak heran apabila fakta ini tercermin dalam musiknya yang juga kosmopolitan. Di antara sekian banyak penduduk yang sudah sejak lama bermukim di kota ini tentu saja yang pantas disebut adalah etnik Tionghoa. Peranakan Orang Tionghoa sudah sejak lama bermukim di kota ini. Waktu orang Belanda untuk pertama kalinya menginjakkan kaki mereka di Jayakarta, sudah ada suatu pemukiman Tionghoa di sebelah timur muara Ciliwung. 

Orang Tionghoa di Jakarta khususnya dan di Jawa umumnya berasal dari bagian selatan propinsi Hokkian (Fujian), yakni wilayah sekitar Ciang-ciu (Zhangzhou), E-mui (Xiamen), dan Coan-ciu (Quanzhou) di Cina selatan. Waktu itu, sebab yang datang hanya kaum laki-lakinya saja dan hampir tidak ada perempuan Cina yang bermigrasi, laki-laki Tionghoa Totok (sin-kheh) ini lalu menikahi perempuan setempat (nyai) dan membentuk keluarga. Hasil perkawinan campur inilah yang kemudian membentuk orang Tionghoa Peranakan (baba-nona/nyonya).

Kaum Peranakan di Jawa umumnya tidak dapat berbahasa Tionghoa lagi dan berbahasa Melayu dan/atau dialek setempat: Sunda atau Jawa. Budaya Peranakan merupakan akulturasi antara budaya Tionghoa dari pihak laki-laki dengan budaya lokal dari pihak perempuan. Kaum perempuannya dulu berkebaya nyonya dengan bawahan sarung batik Cirebon, Pekalongan, Lasem dan lain-lain. Di masa lalu mereka juga mengunyah sirih, menjalani upacara “potong gigi”, jongkok-menyembah untuk memberi hormat dan kebiasaan perempuan lokal lainnya. Sastra yang mereka lahirkan kemudian disebut Sastra Melayu-Tionghoa. 

Cina Benteng Di lain pihak Gambang Kromong dan wayang cokèk tak terpisahkan dari kehidupan kesenian masyarakat Cina Benteng, yakni masyarakat Tionghoa Peranakan yang sejak beberapa generasi bermukim di wilayah Kabupaten Tangerang. Sejak berabad lalu orang Tionghoa telah bermukim di tempat ini. Mereka datang melalui beberapa entri: Banten di barat, Mauk dan Teluk Naga di utara, serta Batavia di timur. Seiring dengan dikembangkannya pertanian oleh Belanda di luar Tembok Batavia (Ommelanden), maka banyak orang Tionghoa mengusahakan pertanian, perkebunan tebu dan pembuatan arak di wilayah ini.

Sepanjang sejarah Batavia-Tangerang tercatat, para tuan tanah yang tinggal di Batavia juga banyak yang mempunyai tanah di wilayah ini. Di antaranya, keluarga Souw dari Patekoan, Batavia. Pemukiman Tionghoa berkembang pesat setelah benteng Tangerang (lokasinya di jalan Benteng Jaya, belakang Plaza Tangerang) dibangun sekitar 1730 oleh Belanda sebagai pertahanan terhadap serangan Banten yang ingin merebut kembali Batavia. Dari pertahanan inilah lahir nama Benteng sebagai nama lain kota Tangerang. Orang Tionghoa Peranakan yang secara turun-temurun bermukim di Tangerang dengan bangga menyebut dirinya Cina Benteng, artinya Cina Tangerang. Pada perkembangan selanjutnya, utamanya oleh orang di luar komunitas mereka, Cina Benteng bukan hanya digunakan untuk mengacu kepada penduduk Tionghoa di kota Tangerang saja, tetapi juga penduduk Tionghoa di seluruh wilayah kabupaten Tangerang, termasuk: Sewan, Kedawung Wetan, Selapajang, Kampung Melayu, Tanjung Burung, Tanjung Pasir, Lemo, Curug, Legok, Tiga Raksa, Baur, Sepatan, Kebon Baru, Cengklong, Blimbing, Kosambi. 

Selain itu, Cina Benteng juga dapat ditemui di beberapa kawasan yang termasuk wilayah DKI Jakarta: Dadap, Cengkareng, Rawa Lele, Rawa Bokor. Terutama setelah Tragedi Pembantaian Angke Tahun 1740 banyak orang Tionghoa yang menyelamatkan diri dari kekejian Belanda dan bermukim di tempat ini. Mereka ini turut menambah besarnya penduduk Tionghoa di wilayah ini.

Selain pada waktu terjadinya peristiwa Tragedi Tangerang Juni 1946, dimana terjadi kerusuhan besar yang mengakibatkan 25.000 penduduk Tionghoa mengungsi ke Batavia, secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan antara etnik di wilayah ini―Melayu (Betawi), Sunda dan Tionghoa―berjalan sangat harmonis. 

Asal-usul Gambang Kromong tercipta ketika orang-orang Tionghoa Peranakan sudah semakin banyak di kota Batavia. Di waktu senggang mereka memainkan lagu-lagu Tionghoa dari kampung halaman kakek-moyang mereka di Cina dengan instrumen gesek Tionghoa su-kong, the-hian, dan kong-a-hian, bangsing (suling), dan ningning, dipadukan dengan gambang. Gambang yang merupakan instrumen yang diambil dari khazanah instrumen Sunda/Jawa digunakan sebagai pengganti fungsi iang-khim, yakni semacam kecapi Tionghoa, tetapi dimainkan dengan semacam alat pengetuk yang dibuat dari bambu pipih. Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1880-an barulah orkestra gambang tersebut ditambah dengan kromong, kendang, kempul, goong, kecrek. Dengan demikian terciptalah Gambang Kromong.

Dari pusat kota Batavia ketika itu, musik Gambang Kromong kemudian tersebar ke seluruh penjuru kota. Kini ia tidak hanya dikenal di Jakarta, tetapi juga di bagian utara Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek), bahkan sebelah barat Karawang sekarang ini. Kawasan-kawasan tersebut memang merupakan area budaya Betawi. Nada dan Laras Seperti halnya musik Tionghoa dan kebanyakan musik Timur lainnya, Gambang Kromong hanya memakai lima nada (pentatonis) yang semuanya mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa: liuh = sol (g), u = la (a), siang = do (c), che = re (d), dan kong = mi (e). Tidak ada nada fa = f dan si = b, seperti dalam musik diatonis, yakni musik Barat utamanya. Larasnya adalah salendro yang khas Tionghoa sehingga disebut Salendro Cina atau ada pula yang menyebutnya Salendro Mandalungan. 

Dengan demikian semua instrumen dalam orkestra Gambang Kromong dilaras sesuai dengan laras musik Tionghoa, mengikuti laras Salendro Cina tadi. Untuk memainkan lagu-lagu pobin utamanya, para pemusik (panjak) Gambang Kromong pada awalnya harus mampu membaca not-not yang ditulis dalam aksara Tionghoa tersebut, namun kemudian banyak panjak yang mampu memainkan lagu-lagu tersebut tanpa melihat notnya lagi karena sudah hafal.  [Ira-Citynews]