|
foto:bantenkini.com |
Kotamadya Tangerang, hanya berjarak
satu kilometer dari Ibukota Republik Indonesia, Jakarta. Di Tangerang inilah
hidup komunitas Cina yang sudah menetap ratusan tahun. Cina Benteng,
demikianlah sebutannya. Kehadiran mereka yang sudah turun temurun pun melebur
dengan warga sekitar. Kini, di tengah arus zaman, mereka tak ingin melupakan
asal-usul. Mengadakan perayaan Imlek 2557. Sebuah tradisi perayaan tahun baru
Konghucu. Di Kelurahan Sukasari,
Kotamadya Tangerang, berdiri Klenteng Boen Tek Bio (baca: Bun Tek Bio), sebuah
tempat upacara persembahyangan orang-orang Tionghoa, yang menganut agama Budha,
Khonghucu, dan Tao. Melihat sepintas, siapa sangka klenteng ini sudah berusia
lebih dari tiga abad. Menjadikannya sebagai klenteng tertua di Tangerang.
Nama Boen Tek Bio berarti Klenteng
Kebajikan Benteng. Dari sini bisa ditelusur asal mula komunitas Cina Benteng.
Pendiri klenteng membawa kami menemui Tjin Eng, orang yang dianggap masyarakat
setempat tahu sejarah Cina Benteng.
Komunitas Tionghoa, yang mendirikan Klenteng Boen Tek Bio, diperkirakan
sudah bermukim di kawasan ini sejak tahun 1407. Konon, rombongan orang Tionghoa
datang ke tempat ini, menggunakan perahu. Mulanya tinggal di sebelah timur Kali
Cisadane, yang sekarang disebut sebagai Kampung Teluk Naga.
Semakin lama, populasinya kian
membesar. Sebagian pindah, bermukim ke pinggiran Kali Cisadane, tak jauh dari
pusat Kota Tangerang sekarang. Sejak itu, mereka mulai dikenal sebagai Cina
Benteng. Pada abad ke-18, Cina Benteng identik dengan orang Cina yang jago bela
diri, serta hidup bersahaja. Karena itu seringkali dianggap sebagai kaum Cina
dari udik. Mata pencaharian mereka sebagian besar sebagai petani, peternak,
pedagang, dan buruh kecil.
Kini, keturunan mereka sebagian besar
masih bertahan di sini, dan tetap dikenal sebagai Cina Benteng. Adat istiadat
nenek moyang pun tetap mereka pertahankan. Seperti dalam tata upacara
perkawinan dan kematian. Selain itu, di setiap rumah orang Cina Benteng, masih
terdapat meja abu, tempat bersembahyang menghormati leluhur mereka. Tahun ini
pun, perayaan tahun baru imlek tidak mereka lewatkan. Para pekerja ini sedang
membuat dodol. Bukan sembarang dodol, karena inilah yang dikenal sebagai kue
keranjang. Penganan khas imlek. Kue keranjang yang jumlahnya ratusan ini dibuat
di rumah Keluarga Lauw, di Kecamatan Batu Ceper, Tangerang.
|
foto:bintang.com |
Penganan ini bukan untuk dimakan
sendiri, tapi ini adalah pesanan yang selalu membanjir menjelang imlek. Bagi
orang Tionghoa, tanpa kue keranjang, perayaan imlek terasa hambar. Padahal pembuatannya
cukup lama. Harus difermentasi dulu selama setengah bulan. Lalu masih harus
dikukus 12 jam. Bagi komunitas Tionghoa di Tangerang, nama Keluarga Lauw sudah
identik dengan kue keranjang. Tak heran, karena Keluarga Lauw sudah memproduksi
kue keranjang ini sejak awal abad ke-20, dirintis oleh Lauw Soen Lim. Kini
pembuatan kue dikelola generasi ketiga Keluarga Lauw.
Jumlah kue keranjang yang hanya dibuat
menjelang imlek ini tidak main-main. Keluarga Lauw memproduksinya sebanyak 30
ton. Sementara itu, di Kelurahan Sukasari, Tangerang, yang dikenal sebagai
Kampung Cina Benteng, ada kesibukan lain. Keluarga Teng menyajikan aneka
penganan yang disukai leluhurnya, di meja abu, sebagai penghormatan. Makanan
yang wajib disajikan saat menjelang imlek ini disebut samseng, yakni tiga
sajian yang melambangkan tiga alam, udara, darat, dan air. Biasanya berupa
ayam, yang mewakili unsur udara, babi, dianggap mewakili unsur darat, serta
ikan bandeng, yang mewakili unsur air.
Keluarga besar Teng juga membakar
uang-uang kertas, yang bermakna agar para leluhur tidak kekurangan uang di alam
lain. Mereka yakin, dengan ritual seperti ini, dapat membantu arwah leluhur
dalam kehidupannya di alam lain.
Bila diamati, cukup banyak kaum muda
Tionghoa yang datang sembahyang menjelang imlek. Banyak dari mereka menganggap
imlek bukan sekedar tradisi nenek moyang, tapi juga sebagai ajang refleksi
diri, agar dapat lebih baik dalam melangkah ke masa depan. Seperti Setiawan.
Baginya, perayaan imlek bukan sekedar karena ikut-ikutan. Inilah saat berterima
kasih karena hidupnya telah banyak dibantu dan dibimbing.
Hari mulai senja. Lilin-lilin
berukuran besar yang merupakan ungkapan rasa terima kasih kepada para dewa,
mulai diatur di halaman Klenteng Boen Tek Bio. Nanti, menjelang malam tiba,
lilin-lilin yang merupakan simbol penerang untuk menapaki jalan masa depan,
akan disulut.
Malam telah tiba. Gerimis yang turun, tidak
menyurutkan langkah menuju Klenteng Boen Tek Bio. Sejak petang, tempat
peribadatan yang tidak terlalu luas ini, mulai dipadati warga Tionghoa yang
ingin bersembahyang, mengucapkan rasa terima kasih mereka kepada para dewa, dan
leluhurnya, yang diyakini telah memberikan pertolongan dalam berusaha. Wangi aroma hio yang terbakar, memenuhi udara
di sekitar klenteng.
Perayaan imlek, sesungguhnya merupakan
acara para petani Tionghoa untuk merayakan pergantian musim. Musim semi yang
datang, merupakan saat yang baik untuk bercocok tanam. Saat yang tepat untuk
menyambut datangnya berkah.
Selain dengan bersembahyang di
klenteng, mereka memeriahkannya dengan kesenian barongsai. Konon, tari
barongsai ini juga untuk menakut-nakuti setan yang kerap muncul dalam
kehidupan. Namun dalam perkembangan jaman, makna perayaan imlek jadi berbeda.
Di satu sisi punya makna agamis, sementara di sisi lain memiliki makna budaya.
Menjelang tengah malam, hujan semakin
deras. Seakan Sang Pencipta menimpali permohonan yang dipanjatkan, dengan
melimpahkan berkahnya ke bumi melalui tetesan air. Memberi kesuburan bagi tanah
yang disiraminya. Seperti makna awal dari perayaan imlek para petani Tionghoa,
menyambut datangnya musim tanam. [Ira-Citynews]