Minggu, 04 Desember 2016

TANGISKU TERHENTI



Ini adalah tahun yang ke-empat, aku merayakan Natal bertiga dengan adik perempuan dan ibu. Sejak ayah meninggalkan kami, empat tahun silam, ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di satu keluarga kaya.

Sebagai kakak, sepulang sekolah, aku menjaga adikku yang baru duduk di sekolah dasar dan membantu ibu membereskan rumah. Bila hari hujan, sering pula aku diajak menjadi “ojek payung,” yaitu menyediakan payung bagi yang membutuhkan di saat hujan deras turun. Kala ramai pernah aku membawa pulang uang dua puluh lima ribu rupiah. Ibu terharu menitikkan air mata, seraya merangkulku. “Nak, boleh ibu pinjam uangmu dulu? Ibu mau membayar hutang di warung. 

“Sejak ayah tak ada lagi, ibu bekerja keras dengan penghasilan pas-pasan. Tak jarang pemilik warung datang menagih hutang, dan ibu hanya bisa menjawab dengan janji akan membayar minggu berikutnya.

Malam ini aku belum bisa tidur. Ibu terlelap dengan wajah letih setelah seharian bekerja mencari nafkah. Adikku sudah tertidur pulas. Kudekati dan kudekap erat. Tanpa dapat terbendung, aku menangis, menangis, dan menangis. Menangis karena ini tahun yang ke-empat aku tidak mempunyai sepatu baru, seketika aku teringat tetangga sebelah, teman sebayaku, ia tidak pernah menangis di malam Natal meski ia tak punya kaki. Tangisku terhenti…