Jumat, 01 Oktober 2010

KETIKA BARONG DAN RANGDA BERSATU DI BUMI SINGARAJA


Keberadaan Tapakan Betara atau Sesuhunan Barong dan Rangda dengan banyak istilah dan nama sebagai warisan adi luhung para leluhur nampaknya akan tetap lestari di Bali. Terbukti dari kesetiaan masyarakatnya secara turun-temurun melaksanakan ritual upacara pemlaspasan seperti yang dilakukan Puri Agung Singaraja (Puri Gde Buleleng).  Setelah pada bulan Pebruari lalu (13/2) melangsungkan upacara pemlaspasan Barong Ida Ratu Ageng Sakti, maka pada hari yang dianggap sangat baik diadakan upacara pemlaspasan dan pasupati Rangda Ida Ayu Sakti diikuti Barong Ida Ratu Ageng Sakti di Puri Agung Singaraja Bali (4/9).

Upacara pemlaspasan dan pasupati Rangda Ida Ayu Sakti dipimpin oleh seorang pendeta beserta para sesepuh puri serta pemangku adat, dan didukung sepenuhnya oleh Lisa Tirto Utomo dari Yayasan Tirto Utomo Jakarta.  Tampak hadir dalam acara yang diadakan sore-malam tersebut sejumlah tamu dari Jakarta seperti Prof Dr. Toeti Heraty Nurhadi (sastrawan), dan sejumlah perwakilan dari Yayasan Tirto Utomo Jakarta. Sebelum acara pemlaspasan di Puri Agung Singaraja, ritual upacara dimulai di Pedharman Dalem Sagening Klungkung kemudian Rangda Ida Ayu Sakti menjalani prosesi di Puri Singapadu, Gianyar.

Menurut sesepuh Puri Agung Singaraja Anak Agung Ngurah Ugrasena, keberadaan Barong dan Rangda di Puri Agung Singaraja (Puri Gde Buleleng) diperkirakan berawal pada tahun 1880 saat Ki Gusti Ngurah Ktut Djlantik berkuasa. Pada masa itu ia membuat Tapakan Ida betara Barong dan Rangda dengan maksud meredam “gejolak”, salah satunya rasa traumatis rakyat yang berkepanjangan pasca Perang Jagaraga (1849) dan perang Banjar (1868). Secara periodik pada waktu/hari yang dipandang baik Barong dan Rangda Medal Mesajan atau Ngelawang, Ngider Bhuana diiringi masyarakat. Konon setelah itu keadaan daerah Buleleng (masyarakat dan alam sekitarnya) berangsur-angsur tentram, damai dan bersatu.

Masyarakat Buleleng nampak antusias menghadiri acara pemlaspasan Barong Ida Ratu Ageng Sakti dan Rangda Ida Ratu Ayu Sakti apalagi saat keduanya ngelawang (jalan sambil diiringi gamelan khusus) keluar dari puri menapaki ruas-ruas jalan. Beberapa pengiringnya nampak kesurupan (kerauhan roh magis). Namun begitu masyarakat tetap antusias mengikuti iringan Barong dan Rangda hingga keduanya kembali ke dalam Puri menjelang malam. 

Sementara itu di tempat terpisah Lisa Tirto Utomo mengutarakan harapannya terkait peran Puri bukan saja sebagai cagar budaya semata tetapi dapat melakukan interaksi kepada masyarakat sekaligus memperkenalkan sejarah dan budaya melalui revitalisasi peninggalan leluhur, khususnya di Puri Agung Singaraja. 

Bagi masyarakat awam keberadaan Barong dan Rangda kerap kali dilatarbelakangi mitologi (mitos-mitos) atau kejadian atau sejarahnya yang bersifat supranatural yang terjadi di masa lampau dan diyakini masih memiliki daya magis kekuatan hingga kini. Bila dalam masyarakat Cina dikenal mitos Yin dan Yang sebagai perlambang Kebaikan dan Kejahatan, dua kubu yang senantiasa bertentangan namun tak terpisahkan di dalam dunia. Demikian halnya Barong dan Rangda. Barong diyakini perlambang kebaikan (dharma) sedangkan Rangda sebaliknya (kejahatan). Namun bila keduanya disatukan, diyakini mampu menjadi penangkal hal-hal negatif.

Sementara bagi masyarakat Bali dengan agama Hindu yang masih kuat, Barong dan Rangda diyakini sebagian besar orang sebagai aplikasi perwujudan Tuhan yang dibuat oleh tangan manusia sebagai salah satu bakti. Mereka meyakini Tuhan yang turun ke dunia bersama dengan kekuatannya berkenan menganugerahkan kesejahteraan dan menarik segala kekuatan negatif yang ada dengan membasmi mara penyakit, wabah, termasuk hal-hal negatif dalam diri manusia seperti amarah, iri, dengki, stress, dll. 

Kehadiran Barong Ida Ratu Ageng Sakti dan Rangda Ia Ayu Sakti sangat dinantikan masyarakat Buleleng apalagi setelah lebih dari 100 tahun “menghilang” di bumi Singaraja. Kerabat Puri Agung Singaraja dan masyarakat sekitar meyakini dengan adanya dua kekuatan tersebut maka segala kegelisahan dan mara negatif bisa ditolak sehigga kedamaian dan ketentraman di Singaraja secara khusus dan Bali pada umumnya dapat terwujud. 

Keberadaan Ida Tapakan Barong  yang diberi julukan Ida Ratu Ageng Sakti dan Rangda dengan nama Ida Ayu Sakti di Puri Agung Singaraja merupakan warisan adi luhung para leluhur yang harus dilestarikan. Kiranya keberadaan warisan leluhur ini juga mampu menjadikan puri dan masyarakat sekitar Buleleng harmonis, seimbang, damai dan bersatu, Moksartham Jagaditya Ca Iti Dharma! 

Sesuai Kitan Lontar Siwa
Keberadaan Tapakan Betara atau Sesuhunan Barong dan Rangda diyakini sesuai dengan tatwa atau filosofi yang tertulis dalam kitab Lontar Siwa Gama, Siwa Tatwa, Durga Bayu Tatwa yang mengisahkan ketika Dewi Uma, istri Dewa Siwa (Betara Siwa), diturunkan ke Mayapada oleh Dewa Siwa karena ada beberapa kesalahan, dan kemudian Dewi Uma menjelma menjadi Dewi Durga dalam wujud Bairawi, dan lama kelamaan Dewi Durga ingin bertemu dengan Dewa Siwa tetapi sangat sulit karena wujud yang berbeda. 

Sementara itu terjadilah bencana di bumi, wabah penyakit, keributan dan lain-lain. Dengan kekuatan Dewi Durga yang adalah Dewa Siwa terus memohon agar Dewa Siwa sudi turun ke bumi untuk bersama menenteramkan bumi. Akhirnya Dewa Siwa sudi turun ke bumi menemui istrinya. Maka turunlah Dewa Siwa ke bumi dalam wujud Barong. Mereka bertemu di satu tempat yang dinamakan Pura Prajapati (sumber kekuatan hidup). Hasil pertemuan tersebut menghasilkan kekuatan alam yang diyakini mampu menghilangkan segala penyakit yang ada. Dalam Lontar Siwa Tatwa disebutkan bahwa Dewa Siwa memberikan sabdanya kepada umat manusia. Tatkala dunia sedang terkena bencana dan wabah penyakit, manusia manusia melakukan upacara persembahan dengan mempersatukan kekuatan Dewa Siwa dengan wujud Barong dan Dewi Durga berwujud Rangda. Kedua kekuatan ini dipakai sebagai upacara Peruwatan untuk menghilangkan segala penyebab mara penyakit dan wabah yang ada. [Ira-MediaMSI]